Kamis, 10 Januari 2013

obstruksi usus

Obstruksi usus dapat didefinisikan sebagai gangguan (apapun penyebabnya) aliran normal isi usus sepanjang saluran usus. Obstruksi usus dapat akut dengan kronik, partial atau total. Obstruksi usus biasanya mengenai kolon sebagai akibat karsinoma dan perkembangannya lambat. Sebagian dasar dari obstruksi justru mengenai usus halus.Obstruksi total usus halus merupakan keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat bila penderita ingin tetap hidup.

Obstruksi usus merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus.


Etiologi

1. Perlengketan :

Lengkung usus menjadi melekat pada area yang sembuh secara lambat atau pasda jaringan parut setelah pembedahan abdomen

2. Intusepsi :

Salah satu bagian dari usus menyusup kedalam bagian lain yang ada dibawahnya akibat penyempitan lumen usus. Segmen usus tertarik kedalam segmen berikutnya oleh gerakan peristaltik yang memperlakukan segmen itu seperti usus. Paling sering terjadi pada anaka-anak dimana kelenjar limfe mendorong dinding ileum kedalam dan terpijat disepanjang bagian usus tersebut (ileocaecal) lewat coecum kedalam usus besar (colon) dan bahkan sampai sejauh rectum dan anus.

3. Volvulus :

Usus besar yang mempunyai mesocolon dapat terpuntir sendiri dengan demikian menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya gelungan usus yang terjadi amat distensi. Keadaan ini dapat juga terjadi pada usus halus yang terputar pada mesentriumnya

4. Hernia :

Protrusi usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot abdomen

5. Tumor :

Tumor yang ada dalam dinding usus meluas kelumen usus atau tumor diluar usus menyebabkan tekanan pada dinding usus.


Factor Predisposisi

Penyakit ini merupakan penyakit bawaan yang disebabakan disfungsi umum kelenjar eksokrin pancreas. Keadaan ini menyebabakan berkurangnya enzim pancreas yang mengalir ke lumen usus halus sehingga issi usus halus menjadi kental dan menyumbat lumen usus. Gambaran radiologist yang ditemukan ialah pelebaran usus dan tampak bayangan udra yang granular diantara mekonium yang kental tersebut.


Gejala

Gejala klinis yang ditimbulkan oleh gangguan pasase usus tergantung oleh 3 faktor, yaitu :

1. letak obtruksi

gejala muntah makin menonjol bila letak obstruksi makin kearah oral, sedangkan kembung hanya terbatas pada epigastrium. Bila letak obtruksi lebih ke arah anal, gambaran kembung yang lebigh jelas dan dapat meliputi seluruh perut, sedangkan muntah baru timbul kemudian.

2. Lamanya obtruksi

Pada bayi baru lahir udara mencapai kolon setelah 12 jam.

3. Obtruksi total atau parsial

Pada obstruksi tinggi baik parsial maupun total, gejal muntah akan sangat mencolok. Pada obtruksi parsial rendah di dapatkan gejala kembung, tetapi muntah sangat jarang.

Pada bayi harus dipikirkan terdapat obstruksi usus bila terdapat trias yang terdiri darai gangguan pasase mekonium, muntah (terutama muntah berwarna hijau), perut kembung.

Muntah akan menyebablan penderita kehilangan air dan elektrolit dan mula-mula akan menyebabkan alkalosis hipokloremik dan hipokalemia. Muntah yang tidask mendapat perawatan seharisnya akan dapat menimbulkan aspirasi. Perut yang kembung akan menyebabakan transudasi intra-intestinal sehingga kehilangan air terjadi lebih banyak lagi dan timbul hipoproteinenia. Desakan perut yang kembung akan menyebabkan gangguan pernapasan, sehingga timbul hipoksemia dan sianosis.


Patofisiologi

Peristiwa patofisiologik yang terjadi setelah obstruksi usus adalah sama, tanpa memandang apakah obtruksi tersebut diakibatkan oleh penyebab mekanik atau fungsional. Perbedaan utamanya pada obstruksi paralitik dimana peristaltik dihambat dari permulaan, sedangkan pada obstruksi mekanis peristaltik mula-mula diperkuat, kemudian intermitten, dan akhirnya hilang.

Lumen usus yang tersumbat secara progresif akan teregang oleh cairan dana gas (70 % dari gas yang ditelan) akibat peningkatan tekanan intra lumen, yang menurunkan pengaliran air dan natrium dari lumen usus ke darah. Oleh karena sekitar 8 liter cairan disekresi kedalam saluran cerna setiap hari, tidak adanya absorbsi dapat mengakibatkan penimbunan intra lumen yang cepat. Muntah dan penyedotan usus setelah pengobatan dimulai merupakan sumber kehilangan utama cairan dan elektrolit. Pengaruh atas kehilangan cairan dan elektrolit adalah penciutan ruang cairan ekstra sel yang mengakibatkan hemokonsentrasi, hipovolemia, insufisiensi ginjal, syok-hipotensi, pengurangan curah jantung, penurunan perfusi jaringan, asidosis metabolik dan kematian bila tidak dikoreksi.

Peregangan usus yang terus menerus menyebabkan lingkaran setan penurunan absorbsi cairan dan peningkatan sekresi cairan kedalam usus. Efek lokal peregangan usus adalah iskemia akibat distensi dan peningkatan permeabilitas akibat nekrosis, disertai absorbsi toksin-toksin/bakteri kedalam rongga peritonium dan sirkulasi sistemik. Pengaruh sistemik dari distensi yang mencolok adalah elevasi diafragma dengan akibat terbatasnya ventilasi dan berikutnya timbul atelektasis. Aliran balik vena melalui vena kava inferior juga dapat terganggu. Segera setelah terjadinya gangguan aliran balik vena yang nyata, usus menjadi sangat terbendung, dan darah mulai menyusup kedalam lumen usus. Darah yang hilang dapat mencapai kadar yang cukup berarti bila segmen usus yang terlibat cukup panjang.


Klasifikasi

1. Obstruksi Usus Halus

Gejala awal biasanya berupa nyeri abdomen bagian tengah seperti kram yang cenderung bertambah berat sejalan dengan beratnya obstruksi dan bersifat hilang timbul. Pasien dapat mengeluarkan darah dan mukus, tetapi bukan materi fekal dan tidak terdapat flatus.
Pada obstruksi komplet, gelombang peristaltik pada awalnya menjadi sangat keras dan akhirnya berbalik arah dan isi usus terdorong kedepan mulut. Apabila obstruksi terjadi pada ileum maka muntah fekal dapat terjadi. Semakin kebawah obstruksi di area gastriuntestinalyang terjadi, semakin jelas adaanya distensi abdomen. Jika berlaanjut terus dan tidak diatasi maka akan terjadi syok hipovolemia akibat dehidrasi dan kehilangan volume plasma.

2. Obstruksi Usus Besar

Nyeri perut yang bersifat kolik dalam kualitas yang sama dengan obstruksi pada usus halus tetapi intensitasnya jauh lebih rendah. Muntah muncul terakhir terutama bila katup ileosekal kompeten. Pada pasien dengan obstruksi disigmoid dan rectum, konstipasi dapat menjadi gejala satu-satunya selama beberapa hari. Akhirnya abdomen menjadi sangat distensi, loop dari usus besar menjadi dapat dilihat dari luar melalui dinding abdomen, dan pasien menderita kram akibat nyeri abdomen bawah.


Pemeriksaan Laboratorium

1. Obstruksi Usus Halus :

Diagnosa didasarkan pada gejala yang digambarkan diatas serta pemeriksaan sinar-X. Sinar-X terhadap abdomen akan menunjukkan kuantitas dari gas atau cairan dalam usus. Pemeriksaan laboratorium (misalnya pemeriksaan elektrolit dan jumlah darah lengkap) akan menunjukkan gambaran dehidrasi dan kehilangan volume plasma dan kemungkinan infeksi

2. Obstruksi Usus Besar :

Diagnosa didasarkan pada pemeriksaan simtoma-tologi dan sinar-X. Sinar-X abdomen (datar dan tinggi) akan menunjukkan distensi abdomen. Pemeriksaan barium dikontraindikasikan.


Komplikasi

1. Peritonitis septicemia

2. Syok hipofolemia

3. Perforasi usus


Penatalaksanaan

A. Medis

Dasar pengobatan obstruksi usus adalah koreksi keseimbangan cairan dan elektrolit, menghilangkan peregangan dan muntah dengan intubasi dan kompresi, memperbaiki peritonitis dan syok bila ada, serta menghilangkan obstruksi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.

1.Obstruksi Usus Halus

Dekompresi pada usus melalui selang usus halus atau nasogastrik bermamfaat dalam mayoritas kasus obstruksi usus halus.Apabila usus tersumbat secara lengkap, maka strangulasi yang terjadi memerlukan tindakan pembedahan, sebelum pembedahan, terapi intra vena diperlukan untuk mengganti kehilangan cairan dan elektrolit (natrium, klorida dan kalium).
Tindakan pembedahan terhadap obstruksi usus halus tergantung penyebab obstruksi. Penyebab paling umum dari obstruksi seperti hernia dan perlengketan. Tindakan pembedahannya adalah herniotomi.

2.Obstruksi Usus Besar

Apabila obstruksi relatif tinggi dalam kolon, kolonoskopi dapat dilakukan untuk membuka lilitan dan dekompresi usus. Sekostomi, pembukaan secara bedah yang dibuat pasa sekum, dapat dilakukan pada pasien yang berisiko buruk terhadap pembedahan dan sangat memerlukan pengangkatan obstruksi. Tindakan lain yang biasa dilakukan adalah reseksi bedah utntuk mengangkat lesi penyebab obstruksi. Kolostomi sementara dan permanen mungkin diperlukan.

B. ASUHAN KEPERAWATAN

I. PENGKAJIAN

Pada pengkajian abdominal (apendiks), pemeriksaan fisik menunjukkan:
 Muntah banyak dengan materi fekal berbau.
 Perubahan pola usus, feses bentuk pentil atau pita.
 Distensi abdomen.
 Nyeri kolik, abdomen intermitten.
 Pada awal, bising usus cepat meningkat di atas sisi obstruksi, kemudian bising usus berhenti.

II. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Nyeri b/d distensi abdomen sekunder terhadap obstruksi usus.
2. Risiko tinggi kekurangan volume cairan b/d mual muntah.
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d absorpsi nutrisi.
4. Risiko tinggi infeksi b/d kemungkinan nekrosis dan ruptur usus.
5. Ansietas b/d perubahan status kesehatan.

III. INTERVENSI

1. Nyeri b/d distensi abdomen sekunder terhadap obstruksi usus.
Tujuan : Nyeri hilang atau terkontrol.
Intervensi :
1) Kaji tingkat nyeri dengan skala 0-10.
R/ Memudahkan perawat dalam menentukan tingkat nyeri dan alat untuk evaluasi keefektifan analgesik, meningkatkan kontrol nyeri.
2) Pertahankan tirah baring sesuai program.
R/ Tirah baring mengurangi penggunaan energi dan membantu mengontrol nyeri dan mengurangi kontraksi otot.
3) Pasang selang gastrointestinal yang disambungkan pada penghisap intermitten.
R/ Penghisapan membantu dalam dekompensasi saluran gastrointestinal, irigasi saluran gastrointestinal membantu mempertahankan ketepatan.
4) Pertahankan posisi semi fowler.
R/ Membantu gerakan gralisasi terhadap selang gastrointestinal dan meningkatkan ekspansi paru.
5) Pertahankan puasa sampai bising usus kembali, distensi abdomen berkurang dan flatus keluar.
R/ Memungkinkan makanan peroral dengan tidak ada bising usus akan meningkatkan distensi dan ketidaknyamanan.
6) Kolaborasi pemberian analgesik sesuai indikasi.
R/ Menghilangkan nyeri, meningkatkan kenyamanan/istirahat umum.

2. Risiko tinggi kekurangan volume cairan b/d mual muntah.
Tujuan : Menunjukkan keseimbangan cairan dengan parameter individual yang tepat, mis: membran mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat, tanda vital stabil.
Intervensi :
1) Kaji perubahan tanda vital, contoh: peningkatan suhu/demam memanjang, takikardia, hipotensi ortostatik.
R/ Peningkatan suhu/memanjangnya demam meningkatkan laju metabolik, TD ortostatik berubah dan peningkatan takikardia menunjukkan kekurangan cairan sistemik
2) Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir, lidah).
R/ Indikator langsung keadekuatan volume cairan.
3) Pantau masukan dan haluaran. Hitung keseimbangan cairan. Waspadai kehilangan yang tak tampak.
R/ Memberikan informasi tentang keadekuatan volume cairan dan kebutuhan penggantian.
4) Observasi perdarahan dan tes feses tiap hari untuk adakan darah samar.
R/ Diet tidak adekuat dan penurunan absorpsi dapat menimbulkan defisiensi vitamin K dan merusak koagulasi potensial risiko perdarahan.
5) Kolaborasi pemberian cairan parenteral, transfusi sesuai indikasi.
R/ Pemenuhan kebutuhan dasar cairan, menurunkan risiko dehidrasi.

3. Nutrisi kurang dari kebutuhan b/d absorpsi nutrisi.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan masukan makanan, mempertahankan/ meningkatkan berat badan.
Intervensi :
1) Anjurkan pembatasan aktivitas selama fase akut.
R/ Menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori dan simpanan energi.
2) Anjurkan istirahat sebelum makan.
R/ Menenangkan peristaltik dan meningkatkan energi untuk makan.
3) Berikan perawatan oral.
R/ Rasa tak enak, bau dan penampilan dapat menurunkan nafsu makan dan merangsang mual dan muntah.
4) Batasi makanan yang dapat menyebabkan kram abdomen.
R/ Mencegah serangan akut.
5) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, mis: antikolinergik 15-30 menit sebelum makan.
R/ Menghilangkan kram dan diare, menurunkan motilitas gaster dan meningkatkan waktu untuk absorpsi nutrisi.

4. Risiko tinggi infeksi b/d kemungkinan nekrosis dan ruptur usus.
Tujuan : Fungsi usus kembali normal dan tidak terjadi infeksi.
Intervensi :
1) Pantau kualitas dan intensitas nyeri, TTV dan status abdomen.
R/ Deteksi dini terhadap potensial masalah.
2) Beritahu dokter segera bila nyeri abdomen, suhu, lingkaran abdomen terus meningkat disertai dengan penghentian bising usus tiba-tiba.
R/ Temuan ini menunjukkan potensial ruptur dan peritonitis sehingga intervensi bedah daperuntukkan untuk mencegah akibat yang serius.
3) Siapkan pasien untuk pembedahan usus bila direncanakan.
R/ Obstruksi vaskuler atau mekanis umumnya memerlukan intervensi bedah.
4) Ikuti kewaspadaan umum, mencuci tangan sebelum dan sesudah tindakan perawatan dan menggunakan sarung tangan untuk kontak dengan darah atau cairan tubuh yang mungkin terjadi.
R/ Penyakit meningkatkan kerentanan seseorang terhadap infeksi. Petugas pelayanan kesehatan paling umum sebagai sumber infeksi nosokomial.

5. Ansietas b/d perubahan status kesehatan.
Tujuan : Melaporkan penurunan ansietas sampai tingkat yang dapat ditangani.
Intervensi :
1) Motivasi klien menyatakan perasaannya.
R/ Membantu pasien/orang terdekat dalam mengidentifikasi masalah yang menyebabkan stress.
2) Berikan informasi yang akurat dan nyata tentang tindakan yang akan dilakukan.
R/ Keterlibatan pasien dalam perencanaan perawatan dapat memberikan rasa kontrol dan membantu menurunkan ansietas.
3) Berikan lingkungan yang tenang untuk istirahat, ajarkan teknik relaksasi.
R/ Relaksasi mengurangi stress dan ansietas serta membantu klien untuk mengatasi ketidakmampuannya.
4) Bantu pasien untuk mengidentifikasi perilaku koping yang digunakan pada masa lalu.
R/ Perilaku yang berhasil dapat dikuatkan pada penerimaan masalah/ stress saat ini, meningkatkan rasa kontrol dari pasien.

IV. EVALUASI

1. Nyeri hilang atau terkontrol.
2. Menunjukkan keseimbangan cairan dengan parameter individual yang tepat, mis: membran mukosa lembab, turgor kulit baik, pengisian kapiler cepat, tanda vital stabil.
3. Menunjukkan peningkatan masukan makanan, mempertahankan/ meningkatkan berat badan.
4. Fungsi usus kembali normal dan tidak terjadi infeksi.
5. Melaporkan penurunan ansietas sampai tingkat yang dapat ditangani.

Selasa, 08 Januari 2013

SIROSIS HATI
Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang mengenai seluruh organ hati, ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Keadaan tersebut terjadi karena infeksi akut dengan virus hepatitis dimana terjadi peradangan sel hati yang luas dan menyebabkan banyak kematian sel. Kondisi ini menyebabkan terbentuknya banyak jaringan ikat dan regenerasi noduler dengan berbagai ukuran yang dibentuk oleh sel parenkim hati yang masih sehat. Akibatnya bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan hipertensi portal. Pada sirosis dini biasanya hati membesar, teraba kenyal, tepi tumpul, dan terasa nyeri bila ditekan (Nito 2008).
Etiologi Sirosis Hati
Penyakit yang menyebabkan kerusakan hati akan mengakibatkan sirosis.
Di Amerika Serikat, penyebab paling sering adalah penyalahgunaan alkohol. Pada usis 45-65 tahun, sirosis merupakan penyebab kematian ketiga, setelah penyakit jantung dan kanker.
Di beberapa negara Asia dan Afrika, penyebab utama dari sirosis adalah hepatitis kronis. Penyebab sirosis adalah (Ahmad 2010):
  1. Penyalahgunaan alkohol
  2. Penggunaan obat-obatan tertentu
  3. Pemaparan terhadap bahan kimia tertentu
  4. Infeksi (termasuk hepatitis B dan hepatitis C)
  5. Penyakit autoimun (termasuk hepatitis autoimun menahun)
  6. Penyumbatan saluran empedu
  7. Sumbatan menetap pada aliran darah dari hati (misalnya sindroma Budd-Chiari)
  8. Gangguan pada jantung dan pembuluh darah
  9. Kekurangan alfa-1-antitripsin
  10. Kadar galaktosa tinggi dalam darah
  11. Kadar tirosin tinggi dalam darah pada saat lahir (tirosinosis kongenitalis)
  12. Penyakit penimbunan glikogen
  13. Kencing manis (diabetes)
  14. Kurang gizi (Malnutrisi)
  15. Penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan (penyakit Wilson)
  16. Kelebihan zat besi (hemokromatosis).
Patofisiologi Sirosis Hati
Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab dan kejadian, kejadian tersebut dapat terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam keadaan yang kronis atau perlukaan hati yang terus menerus yang terjadi pada peminum alcohol aktif. Hati kemudian merespon kerusakan sel tersebut dengan membentuk ekstraselular matriks yang mengandung kolagen, glikoprotein, dan proteoglikans. Sel stellata berperan dalam membentuk ekstraselular matriks ini. Pada cedera yang akut sel stellata membentuk kembali ekstraselular matriks ini sehingga ditemukan pembengkakan pada hati. Namun, ada beberapa parakrine faktor yang menyebabkan sel stellata menjadi sel penghasil kolagen. Faktor parakrine ini mungkin dilepaskan oleh hepatocytes, sel Kupffer, dan endotel sinusoid sebagai respon terhadap cedera berkepanjangan. Sebagai contoh peningkatan kadar sitokin transforming growth facto beta 1 (TGF-beta1) ditemukan pada pasien dengan Hepatitis C kronis dan pasien sirosis. TGF-beta1 kemudian mengaktivasi sel stellata untuk memproduksi kolagen tipe 1 dan pada akhirnya ukuran hati menyusut (Mubarak 2008).
Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya ukuran dari fenestra endotel hepatic menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti endotel kapiler) dari sinusoid. Sel stellata dalam memproduksi kolagen mengalami kontraksi yang cukup besar untuk menekan daerah perisinusoidal Adanya kapilarisasi dan kontraktilitas sel stellata inilah yang menyebabkan penekanan pada banyak vena di hati sehingga mengganggu proses aliran darah ke sel hati dan pada akhirnya sel hati mati, kematian hepatocytes dalam jumlah yang besar akan menyebabkan banyaknya fungsi hati yang rusak sehingga menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari vena pada hati akan dapat menyebabkan hipertensi portal yang merupakan keadaan utama penyebab terjadinya manifestasi klinis (Mubarak 2008)
Tanda dan Gejala Sirosis Hati
Gejala klinis sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala hingga dengan gejala yang sangat jelas. Umumnya keluhan yang timbul tergantung pada stadium sirosis, apakah masih dini atau sudah fase dekompensasi. Selain itu juga tergantung pada apakah telah terjadi kegagalan fungsi hati akibat proses hepatitis kronik aktif atau telah terjadi hipertensi portal (Nash 2008).
Beberapa penderita ringan (kompensata sempurna) tidak memiliki gejala dan tampak sehat selama bertahun-tahun. Namun, banyak juga yang mengalami keluhan yang tidak khas seperti merasa badan tidak sehat, kurang semangat untuk bekerja, kembung, mual, mencret dan kadang sembelit, tidak selera makan, berat badan menurun, otot-otot melemah, dan cepat lelah (Nash 2008).
Banyak atau sedikitnya keluhan yang timbul tergantung dari luasnya kerusakan parenkim hati. Bila timbul ikterus maka berarti sedang terjadi kerusakan sel hati. Gejala baru terlihat nyata ketika penyakit pengerasan hati telah mencapai stadium lanjut atau dalam fase dekompensasi (sirosis hati berat). Pada fase ini gejala yang timbul bertambah dengan gejala dari kegagalan fungsi hati dan adanya hipertensi portal (Nash 2008).
Kegagalan fungsi hati menimbulkan keluhan seperti rasa lemah, turunnya berat badan, kembung, dan mual. Pada kulit tubuh bagian atas, muka, dan lengan atas akan timbul bercak mirip laba-laba yang biasa disebut spider nevi. Telapak tangan berwarna merah (eritema palmaris), perut membuncit akibat penimbunan cairan secara abnormal di rongga perut (asites), rambut ketiak dan kemaluan yang jarang atau berkurang, buah zakar mengecil (atrofi testis), dan pembesaran payudara pada laki-laki (Nash 2008).
Bisa pula timbul ’’hipoalbuminemia’’, pembengkakan pada tungkai bawah sekitar tulang (edema pretibial), dan gangguan pembekuan darah yang bermanifestasi sebagai peradangan gusi, mimisan, atau gangguan siklus haid. Kegagalan hati pada sirosis hati fase lanjut dapat menyebabkan gangguan kesadaran akibat encephalopathy hepatic atau koma hepatik (Nash 2008).
Gambaran Laboratorik Sirosis Hati
Diagnosis pada penderita suspek sirosis hati dekompensata tidak begitu sulit, gabungan dari kumpulan gejala yang dialami pasien dan tanda yang diperoleh dari pemeriksaan fisis sudah cukup mengarahkan kita pada diagnosis. Namun jika dirasakan diagnosis masih belum pasti, maka USG Abdomen dan tes-tes laboratorium dapat membantu (Sutadi 2010).
Pada pemeriksaan fisis, kita dapat menemukan adanya pembesaran hati dan terasa keras, namun pada stadium yang lebih lanjut hati justru mengecil dan tidak teraba. Untuk memeriksa derajat asites dapat menggunakan tes-tes puddle sign, shifting dullness, atau fluid wave. Tanda-tanda klinis lainnya yang dapat ditemukan pada sirosis yaitu, spider telangiekstasis (Suatu lesi vaskular ang dikelilingi vena-vena kecil), eritema palmaris (warna merah saga pada thenar dan hipothenar telapak tangan), caput medusa, foetor hepatikum (bau yang khas pada penderita sirosis), dan ikterus (Sutadi 2010).
Tes laboratorium juga dapat digunakan untuk membantu diagnosis, Fungsi hati kita dapat menilainya dengan memeriksa kadar aminotransferase, alkali fosfatase, gamma glutamil transpeptidase, serum albumin, prothrombin time, dan bilirubin. Serum glutamil oksaloasetat (SGOT) dan serum glutamil piruvat transaminase (SGPT) meningkat tapi tidak begitu tinggi dan juga tidak spesifik (Sutadi 2010).
Pemeriksaan radiologis seperti USG Abdomen, sudah secara rutin digunakan karena pemeriksaannya noninvasif dan mudah dilakukan. Pemeriksaan USG meliputi sudut hati, permukaan hati, ukuran, homogenitas, dan adanya massa. Pada sirosis lanjut, hati mengecil dan noduler, permukaan irreguler, dan ada peningkatan ekogenitas parenkim hati. Selain itu USG juga dapat menilai asites, splenomegali, thrombosis vena porta, pelebaran vena porta, dan skrining karsinoma hati pada pasien sirosis (Sutadi 2010).
Dari diagnosis sirosis ini kita dapat menilai derajat beratnya sirosis dengan menggunakan klasifikasi Child Pugh (Sutadi 2010).
Tabel I. Klasifikasi Child Pugh
Derajat Kerusakan
Minimal
Sedang
Berat
Satuan
Bilirubin (total)
<35>
35-50
>50 (>3)
μmol/l (mg/dL)
>35
30-35
<30
g/L
Nutrisi
Sempurna
Mudah dikontrol
Sulit terkontrol
-
Nihil
Dapat terkendali dengan pengobatan
Tidak dapat terkendali
-
Nihil
minimal
Berat/koma
-
                                                                             
Pengobatan, Perawatan, dan Pencegahan
Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa Simtomatis, Supportif dengan cara istirahat yang cukup, pengaturan makanan yang cukup dan seimbang dan pengobatan berdasarkan etiologi serta pengobatan yang spesifik dari sirosishati akan diberikan jika telah terjadi komplikasi seperti Astises, Spontaneous bacterial peritonitis, Hepatorenal syndrome dan  Ensefalophaty hepatic (Sutadi 2010).
Asites
Dapat dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas (Sutadi 2010):
-   Istirahat
-   diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah garam dan penderita dapat berobat jalan dan apabila gagal maka penderita harus dirawat.
-   Diuretik
Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka pilihan utama diuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari, apabila dengan dosis maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan dengan furosemid.
Terapi lain
Sebagian kecil penderita asites tidak berhasil dengan pengobatan konservatif. Pada keadaan demikian pilihan kita adalah parasintesis. Mengenai parasintesis cairan asites dapat dilakukan 5 10 liter / hari, dengan catatan harus dilakukan infus albumin sebanyak 6 – 8 gr/l cairan asites yang dikeluarkan. Ternyata parasintesa dapat menurunkan masa opname pasien. Prosedur ini tidak dianjurkan pada Child’s C, Protrombin < 40%, serum bilirubin > dari 10 mg/dl, trombosit < 40.000/mm3, creatinin > 3 mg/dl dan natrium urin < 10 mmol/24 jam (Sutadi 2010).
Spontaneus Bacterial Peritonitis (SBP)
Infeksi cairan dapat terjadi secara spontan, atau setelah tindakan parasintese. Tipe yang spontan terjadi 80% pada penderita sirosis hati dengan asites, sekitar 20% kasus. Keadaan ini lebih sering terjadi pada sirosis hati stadium kompesata yang berat. Pada kebanyakan kasus penyakit ini timbul selama masa rawatan. Infeksi umumnya terjadi secara Blood Borne dan 90% Monomicroba. Pada sirosis hati terjadi permiabilitas usus menurun dan mikroba ini beraasal dari usus. Adanya kecurigaan akan SBP bila dijumpai keadaan sebagai berikut :
Spontaneous bacterial peritonitis
Sucpect grade B dan C cirrhosis with ascites
Clinical feature my be absent and WBC normal
Ascites protein usually <1 g/dl
Usually monomicrobial and Gram-Negative
Start antibiotic if ascites > 250 mm polymorphs
50% die
69 % recur in 1 year
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime), secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu.
Ad. Hepatorenal Sindrome
Adapun criteria diagnostik dapat kita lihat sebagai berikut :
Criteria for diagnosis of hepato-renal syndrome
Major
Chronic liver disease with ascietes
Low glomerular fitration rate
Serum creatin > 1,5 mg/dl
Creatine clearance (24 hour) < 4,0 ml/minute
Absence of shock, severe infection,fluid losses and Nephrotoxic drugs
Proteinuria < 500 mg/day
No improvement following plasma volume expansion
Minor
Urine volume < 1 liter / day
Urine Sodium < 10 mmol/litre
Urine osmolarity > plasma osmolarity
Serum Sodium concentration < 13 mmol / litre
Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian Diuretik yang berlebihan, pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elekterolit, perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa : Ritriksi cairan,garam, potassium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yang Nefrotoxic.
Manitol tidak bermanfaat bahkan dapat menyebabkan Asifosis intra seluler. Diuretik dengan dosis yang tinggi juga tidak bermanfaat, dapat mencetuskan perdarahan dan shock. TIPS hasil jelek pada Child’s C, dan dapat dipertimbangkan pada pasien yang akan dilakukan transplantasi.
Pilihan terbaik adalah transplantasi hati yang diikuti dengan perbaikan dan fungsi ginjal.
Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus
Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi sering dinorduakan, namun yang paling penting adalah penanganannya lebih dulu. Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan :
-       Pasien diistirahatkan daan dpuasakan
-       Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
-       Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali kegunaannya yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es, pemberian obat-obatan, evaluasi darah
-       Pemberian obat-obatan berupa antasida,ARH2,Antifibrinolitik,Vitamin K, Vasopressin, Octriotide dan Somatostatin
-       Disamping itu diperlukan tindakan-tindakan lain dalam rangka menghentikan perdarahan misalnya Pemasangan Ballon Tamponade dan Tindakan Skleroterapi / Ligasi aatau Oesophageal Transection.
Ad. Ensefalopati Hepatik
Suatu syndrome Neuropsikiatri yang didapatkan pada penderita penyakit hati menahun, mulai dari gangguan ritme tidur, perubahan kepribadian, gelisah sampai ke pre koma dan koma. Pada umumnya enselopati Hepatik pada sirosis hati disebabkan adanya factor pencetus, antara lain : infeksi, perdarahan gastro intestinal, obat-obat yang Hepatotoxic. Prinsip penggunaan ada 3 sasaran :
  1. Mengenali dan mengobati factor pencetus
  2. Intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta toxin-toxin yang berasal dari usus dengan jalan : diet rendah protein, pemberian antibiotik (neomisin) dan pemberian lactulose/ lactikol
  3. Obat-obat yang memodifikasi Balance Neutronsmiter : secara langsung (Bromocriptin, Flumazemil) dan tak langsung (Pemberian AARS).